Sebuah pesan hidup telah aku dapat saat aku kemaren potong rambut. Aku sendiri ke salon, maklum suamiku sedang ke luar kota, sebenernya ada temen jg sih lg nginep di rumah, tapi kasian dia lg puasa, jd aku sendiri ke salon. Aku ke salon dengan si Grandy tercinta, motor th ’94-’96 ini motor milik suamiku, tapi sangat sayang untuk tergantikan dengan yg laiun karena motor itu adalah awal perjalanan hidupnya…
Sampailah aku di salon itu, aku sempat agak emosi karena pelayanan yang lama dan cuma dijanji’in aja. “Bentar ya mbak, nanti lgs kami layani mbak.”
Aku yang terburu waktu karena temanku ada di rumah sendirian. Aku hampir saja hengkang dari tempat itu. Sejenak pikiranku teralihkan oleh dua orang suami istri paruh baya. Sang suami dengan sabarnya menunggu sang istri, bahkan suami yang meminta para pekerja untuk merawat istrinya, sang istri hanya berdiam diri saja duduk di kursi tunggu.
“Mbak kalo istri saya mau potong rambut berapa? sekalian ya creambathnya?” tanya sang suami.
“70.ooo ribu pak?” jawab si pekerja.
“Kalau paket lulur ada tidak mbak? Pijet refleksi gitu?”
“Untuk bapak?”
“Bukan itu semua untuk istri saya.” jawab bapak itu tegas.
“Ya saya juga mau paket lulur untuk istri saya, pasti nanti cantik kan mbak setelah keluar salon ini..?” tanyanya sambil tersenyum.
“Saya mau istri saya cantik setelah keluar dari salon ini.” Ulangnya sekali lagi.
Aku hanya terdiam yang sedikit berpikir andai aku sang istri pastinya aku akan malu setengah mati. Hadooooh, ada ya suami yg segitunya ngurus istri….Aku malu punya suami seperti dia.
“Mmm…. kalo itu ibu harus rutin perawatan.” Jawab si pekerja dengan ragu2. Sempat kulihat senyum di wajah si pekerja saat sang bapak tanya hal itu. Mungkin berpikiran sama denganku.
“Mbak kalo bisa pijetnya yang enak ya soalnya istri saya lg capek.”
Weeedeeew, apa2an?….batinku. Pandanganku buyar oleh panggilan pekerja salon yang mengajakku untuk potong rambut. Setelah kurang lebih 2 jam, selesai juga potong rambutnya. Kulihat luar hujan lebat. Dan aku khawatir si Grandy mogok. Aku sendirian, gak ada yang bisa nolong kalo mogok.
Aku segera membayar dan keluar dari salon itu. Di luar memang hujan lebat. Aku memakai jas hujan dan mulai menstarter si Grandy. Grandy ngambek karena kena hujan, pasti busi-nya kena air, aku gak ngerti apa2…
Kulihat seorang pria berdiri masih muda, sepertinya nunggu sang pacar di salon, aku berharap dia menolongku. Tapi dengan cueknya hanya melihatku yang kesusahan. Paraaaah, aku mikir pasti kalo di Sby orang gak mikir2 lagi untuk nolong, meskipun omongan kasar tapi berhati lembut…Ciiiyeee. Tapi beda di sini. Aku menyesalkan kota ini. Sangat menyesal.
Untungnya ada bapak parkir mobil dengan tergopoh2 pincang, dia menyarankanku untuk berteduh, bapak itu pun tidak bisa menolong, karena kakinya yg pincang.
Untungnya bapak paruh baya itu memdatangiku, dan dia lgs mencoba menstarter sepedaku. Beberapa kali, dan langsung bisa.
Alhmdulillah. Sambil menunggu mesin panas. Aku sedikit basa-basi ngobrol. Awalnya aku sempat gak enak gara2 aku mikir yang gak2 waktu dia ngurus istrinya di salon itu.
“Pulangnya nanti aja mbak, masih hujan. Nanti mati lg lhoo.” katanya sambil senyum.
“Iya pak makasih ya pak. Mungkin saya akan nungg sampai mesin panas.” jawabku.
“Masih sekolah mbak? Kok sendirian ke salonnya?” Aku sedikit tersanjung dengan pertanyaannya. Dia juga belum tau klo aku uda nikah. Hehehehehe….
“Gak pak saya sudah kerja, gak papa pak biasa kemana-mana sendiri.”
“Saya lagi nungguin istri saya ke salon.” tambahnya.
“Iya, yg tadi ya pak, saya lihat di dalam.”
“Gak papa itung-itung menyenangkan dia.” Kata-katanya sambil menerawang jauh.
Saat itu aku sadar, ada beberapa hal yang aku belum tahu. Aku melihat rautnya yang sedih dan tetap senyum menjawabku. Aku tahu.
“Kenapa pak?” pertanyaanku, yang seolah-olah aku sudah tahu jawabannya. Sebenarnya takingin bertanya, tapi aku pikir karena dia sudah bercerita di awal, mungkin ingin berbagi denganku.
“Istri saya sudah lama sakit yang gak bakal bisa sembuh.”
… “Mmmm…sakit apa pak?” tanyaku polos seolah tak tahu.
“Istri saya sakit kanker rahim stadium 4. Tapi syukur dia terlihat segar setelah totok syaraf, tapi memang gak bisa sembuh.” nadanya yang semakin lama menurun.
“Ooo…semoga lekas sehat ya pak istrinya.” Kataku menghibur, dan memang tebakanku benar. Aku tahu dia menahan tangis saat cerita, tapi aku hanya orang yang baru saja dikenalnya.
Akhirnya aku bertanya hal2 lain, aku takut untuk tahu hal itu.
Akhirnya hujan sedikit reda, aku mohon ijin ke bapak itu untuk pulang lebih dahulu.
“Terima kasih pak.”
atas pesan hidup yang telah bapak sampaikan.
Aku jd berpikir, aku ingin suami seperti dia.